SEJARAH



SMA yang lebih dikenal dengan nama De Britto atau “JB” (kependekan dari Johanes De Britto) ini mempunyai sejarah yang cukup panjang. Bermula dari suatu kebutuhan mendesak waktu itu. Sesaat setelah pemerintah pendudukan Jepang mencabut peraturan yang melarang pihak swasta mendirikan sekolah, para Bruder CCI bersama suster-suster Carolus Borromeus dan Fransiskanes mendirikan sebuah sekolah menengah katolik, setingkat SMP. Untuk menampung lulusan SMP itulah dirasa mendesak adanya sebuah sekolah menengah atas yang bersendikan asas-asas katolik. Atas persetujuan bersama Yayasan Kanisius di bawah pemimpin Romo Djojoseputro dengan para romo Jesuit dan para suster Carolus Borromeus didirikanlah Sekolah Menengah Atas Kanisius, yang dibuka secara resmi pada tanggal 19 Agustus 1948. Murid angkatan pertama adalah campuran putra-putri berjumlah 65 orang. Waktu itu tempatnya menumpang di ruang atas SMP Bruderan Kidul Loji. Tidak lama setelah diresmikan, jabatan pemimpin sekolah yang semula (untuk sementara) dipegang Romo B. Sumarno, S.J. diserahkan kepada Romo R. van Thiel, S.J. Karena situasi sosial politik yang ada, sekolah yang baru berlangsung lima bulan itu akhirnya bersama-sama sekolah lain ditutup karena clash kedua tentara Belanda pada tanggal 18 Desember 1948. 




Setelah keadaan tenang, persiapan untuk mulai mengadakan kegiatan sekolah segera dilaksanakan. Bagian putri sudah bisa memulai kegiatan sekolah lagi pada bulan Agustus 1949, sedangkan bagian putra baru dapat dibuka pada bulan Oktober 1949, mengingat banyak pemuda yang baru pulang dari medan perang. Ketika sekolah dibuka kembali, bagian putra dan putri mulai dipisahkan. Bagian putra yang kemudian menempati gedung di Jalan Bintaran Kulon 5 ini diasuh oleh para romo Jesuit, dan memakai nama SMA Santo Johanes De Britto. Bagian putri di bawah asuhan para suster Carolus Borromeus, menempati gedung di Jalan Sumbing 1 (sekarang Jalan Sabirin). Mereka memakai nama SMA Stella Duce yang berarti Bintang Penuntun.




Sampai saat itu SMA Johanes De Britto belum mempunyai lambang. Oleh karena itu, pada tahun 1951 sekolah mengadakan lomba mencipta desain lambang SMA Johanes De Britto dan yang berhasil menjadi pemenang adalah R. Nawawi Hadikusumo, siswa SMA Johanes De Britto tahun 1949 – 1951.




Pada tanggal 9 Juni 1953, oleh Pembesar Serikat Jesus di Roma, nama SMA Santo Johanes De Britto diubah menjadi SMA Kolese De Britto. Perkembangan senantiasa terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Tidak hanya pergantian pengurus dan staf pemimpin, tetapi juga perkembangan yang menyangkut jumlah murid, ruang kelas, pembenahan administrasi, termasuk perpindahan gedung sekolah. Pilihan lokasi jatuh di daerah Demangan. Peletakan batu pertama tanda dimulainya pembangunan gedung baru dilakukan oleh Mgr. A. Soegijapranata, S.J. yang waktu itu menjabat Vikaris Apostolik Semarang. Pada bulan Mei 1958 SMA Kolese De Britto dipindahkan ke Demangan. Sekolah menempati kompleks gedung yang luas dan dilengkapi dengan lapangan olah raga, aula, ruang-ruang laboratorium, dan lain-lain. Lokasi sekolah inilah yang kemudian lebih dikenal dengan alamat Jalan Laksda Adisucipto 161 Yogyakarta. Karena pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang orang berkewarganegaraan asing mengajar di sekolah dasar dan menengah, pada permulaan tahun ajaran baru, 1 Agustus 1960, Romo P.F.C. Teeuwisse, S.J. yang masih WNA diganti oleh direktur baru, Romo Th. Koendjono, S.J. Dua tahun kemudian tepatnya 1 Agustus 1962 kepengurusan SMA Stella Duce yang semula masih disatukan dengan SMA Kolese De Britto, resmi diserahkan kepada Yayasan Tarakanita, sedangkan SMA Kolese De Britto tetap diasuh oleh Yayasan De Britto yang secara ex officio diketuai oleh romo Jesuit sebagai rektor kolese.




Semenjak awal perkembangannya SMA Kolese De Britto sebagai suatu kolese, lembaga pendidikan yang dikelola Jesuit senantiasa mengalami keterbatasan / kekurangan tenaga Jesuit. Salah satu jasa Romo Schoonhoff, S.J. sebagai rektor kolese (mulai tahun 1956) adalah kegigihannya mempertahankan SMA Kolese De Britto ketika hendak ditutup sebagai kolese dan kemudian akan diserahkan kepada awam. Alasan penyerahan kepada awam adalah karena pada waktu itu tidak tersedia cukup tenaga Jesuit untuk diserahi tugas di SMA. Salah satu argumen yang diajukan Romo Schoonhoff, S.J. kepada Pater Jenderal (pemimpin Jesuit tertinggi) di Roma adalah bahwa dari SMA Kolese De Britto ini setiap tahun ada beberapa eks alumnusnya yang mendaftar ke seminari. Di samping itu, ada fakta yang tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa dari kolese ini sudah banyak dihasilkan imam baik Jesuit maupun Projo atau tarekat lain. Selain Romo G. Schoonhoff, S.J. Bapak L. Subiyat juga merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam memperjuangkan kelangsungan SMA Kolese De Britto sebagai sebuah kolese.




Ketika Romo Th. Koendjono, S.J. menjadi direktur / kepala sekolah (1962-1964) diangkatlah kedisiplinan menjadi tuntutan kerja dan sikap hidup sehari-hari, tidak hanya untuk siswa, tetapi juga semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di kolese. Kerja sama dengan awam sedikit demi sedikit dikembangkan. Kerja sama itu tidak hanya dalam arti berhubungan baik supaya awam mau bekerja lebih tekun, tetapi semakin menempatkan awam sebagai partner yang setara dalam pengelolaan sekolah. Sayangnya Romo Th. Koendjono, S.J. tidak lama bertugas karena mendapat tugas baru dari Pemimpin Serikat Jesus. Tahun 1964 Romo Th. Koendjono, S.J. sebagai direktur diganti oleh seorang awam, yaitu Bapak C. Kasiyo Dibyoputranto. Serikat Jesus semakin menyadari pentingnya kerja sama yang sederajat dengan awam. Sejak itu hingga sekarang, jabatan direktur / kepala sekolah selalu dipegang oleh awam. Ciri kolese di mana ada Jesuit di dalamnya dipertahankan dalam jabatan rektor (yang sekaligus menjadi ketua yayasan) dan jabatan pamong.




Ketika jabatan rektor dipegang oleh Romo J. Oei Tik Djoen, S.J. pada tahun 1973, di SMA Kolese De Britto dicanangkan pendidikan bebas. Konsep pendidikan bebas ini merupakan jawaban terhadap keadaan masyarakat yang kurang bisa menerima pendapat yang berbeda dari pendapat umum, khususnya sekitar tahun 1960-1970. Masyarakat lebih mementingkan penampilan luar daripada motivasi dari dalam. Para pendidik di SMA Kolese De Britto merasa bahwa para siswa harus berpendapat sendiri. Keberhasilan pendidikan bebas itu tidak bisa dilepaskan dari peran empat serangkai, yaitu Romo J. Oei Tik Djoen, S.J., Romo G. Koelman, S.J., Bapak C. Kasiyo Dibyoputranto, dan Bapak L. Subiyat. Empat serangkai itu pada tahun 1971 diperkuat oleh Bapak Chr.Kristanto yang diangkat menjadi wakil kepala sekolah dan Bapak G. Sukadi yang banyak berperan dalam kegiatan siswa.




Pada tahun 1984 kepemimpinan di SMA Kolese De Britto dilaksanakan secara kolegial antara rektor, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan pamong. Romo rektor merupakan pemimpin dan penangggung jawab karya, sebagai instansi banding tertinggi. Kepala sekolah merupakan pemimpin dan penanggung jawab jalannya sekolah. Romo pamong menjadi penanggung jawab pembinaan siswa. Akan tetapi, mulai tahun ajaran 1987-1988 dibuat rumusan-rumusan tugas secara jelas dan dipisahkan secara tegas urusan sekolah dengan urusan (komunitas) pastoran. Mulai tahun 1993 direksi dikembangkan dengan satu jabatan baru, yakni wakil kepala sekolah urusan administrasi dan keuangan. Dengan demikian, mulai saat itu kepala sekolah dibantu oleh tiga wakil kepala sekolah yang mengurus akademik, administrasi dan keuangan, dan kesiswaan / pamong.


Tahun 2004-2005 SMA Kolese De Britto mulai menerapkan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan setahun kemudian berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Mulai tahun itu SMA Kolese De Britto menambah satu kelas X dari enam kelas menjadi tujuh kelas dan pada tahun 2005-2006 dibuka kembali jurusan bahasa (setelah sepuluh tahun tidak membuka jurusan Bahasa), melengkapi dua jurusan yang sudah ada, yaitu IPA dan IPS.




Pada awal tahun ajaran 2007-2008, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah c.q. Direktorat Pembinaan SMA melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman, menetapkan SMA Kolese De Britto sebagai Rintisan SMA Bertaraf Internasional. Sekolah Bertaraf Internasional adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang meliputi standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan,

sarana dan prasarana, dana, pengelolaan, dan penilaian; serta diperkaya dengan standar salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya.




Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan program RSBI, pada tahun 2013 SMA Kolese De Britto juga tidak lagi menjadi sekolah RSBI. Bersama dengan perayaan 64 tahun (Tumbuk Ageng) SMA Kolese De Britto mengadakan bedah lembaga dengan bantuan Bussiness Model Canvas (BMC) dan membuahkan inspirasi untuk menyusun RIP (Rencana Induk Pengembangan) sekaligus merancang program pengembangan setelah Master Plan sekolah berakhir. Sebagai bentuk nyata, pada tahun ajaran 2013-2014, pengurus yayasan bersama dengan staf direksi menyusun rencana strategis (renstra) lima tahun ke depan dan pada tahun ajaran ini difokuskan pada peningkatan kesehatan organisasi yang mencakup revitalisasi budaya kolese, penataan manajemen sekolah, penataan kurikulum sekolah, penataan keuangan dan pengelolaan sarana prasarana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar